HUKUM-Djuyamto, mantan hakim yang menjadi salah satu terdakwa kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO, mengaku ingin mengembalikan uang Rp 5,5 miliar kepada jaksa.
Hal tersebut di ungkapkan melalui penasihat hukumnya yang akan mengembalikan uang hasil penjualan lahan kantor terpadu MWC Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Kartasura, karena sudah laku dijual.
Dalam persidangan terungkap, Djuyamto disebut memberikan uang kurang lebih Rp 5,7 miliar untuk pembangunan kantor terpadu MWC NU Kartasura. Djuyamto adalah ketua pelaksana pengadaan dan pembangunan kantor terpadu NU Kartasura.
“Kami baru hari ini mendapatkan informasi dari MWC NU Kartasura, bahwa berdasarkan fakta persidangan yang disampaikan oleh saksi Suratno pada saat itu, bahwa yang bersangkutan dan panitia ingin menjual tanah tersebut,” Ungkap penasihat hukum Djuyamto dalam persidangan.
Hari ini kata penasehat hukum Djuyamto, kami memperoleh informasi tanah tersebut sudah proses penjualan. Total nilainya sebesar Rp 5,5 miliar.
Sedangkan uang hasil penjualan tanah untuk pembangunan kantor sudah siap untuk diserahkan ke jaksa. Uang tersebut selanjutnya akan diserahkan lewat rekening penitipan.
“Kami hendak bermohon kepada Majelis Hakim, dana tersebut akan kami proses untuk pengembalian kepada JPU melalui perintah Majelis Hakim untuk diizinkan untuk dapat diterima oleh teman-teman JPU, majelis, seperti itu,” Ucap permohonan Penasehat Hukum Djuyamto
Dia juga meminta arahan Majelis Hakim terkait  pengembalian uang tersebut. Pasalnya, ada opsi untuk menyerahkan uang secara tunai atau dikirim ke rekening titipan melalui virtual account pihak jaksa.
Kemungkinan prosesnya seperti biasa, kalau tidak kami serahkan tunai, kami dapat virtual account dari teman-teman JPU untuk kita titipkan dalam rekening penitipan. Izinkan untuk diperkenankan agar JPU dapat membuka rekening penitipan pengembalian dana Rp 5,5 miliar tersebut.
“Izin majelis, agar dapat dimusyawarahkan dan diputuskan pada hari ini, sebelum dibacakan tuntutan, mungkin pada minggu depan atau sidang selanjutnya,” imbuhnya.
Sementara itu menyoal dengan rencana pengembalian uang, tim jaksa menyebut bahwa eksekusinya berada di tangan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga pihaknya butuh waktu untuk berkoordinasi.
“Pertama kami ucapkan terima kasih atas iktikad baik dari pihak NU. Kemudian yang kedua itu kan secara teknis eksekusinya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pelaksanaannya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Yang Mulia. Mungkin kami perlu waktu koordinasi,” Ucap Jaksa kepada Majelis Hakim
“Jadi, prosesnya seperti apa itu?” tanya Ketua Majelis Hakim.
“Nanti kami tampung dulu di rekening penerimaan. Nanti kita mintakan penetapan sitanya dari Yang Mulia,” Jawab jaksa.
Hakim Effendi pun meminta agar rencana pengembalian uang tersebut dikomunikasikan lebih lanjut antara tim penasihat hukum dengan jaksa.
“Bisa dibangun komunikasi. Nanti komunikasikan saja,”Saran Majelis
Tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi. Ketiga hakim tersebut antara lain Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom.
Mereka didakwa menerima suap bersama sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO .
Sementara itu dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.